081-359-358-604 [email protected]

Para penjelajah bahasa asing sering mendengar kesalahan dalam pelafalan yang cenderung dilakukan oleh sesama mereka yang sedang belajar. Dan kesalahan itu terus berulang, meskipun telah berlatih selama bertahun-tahun. Penelitian baru yang dilakukan oleh Ludwig Maximilans University (LMU) di Munich menunjukkan bahwa semua orang percaya bahwa pelafalan mereka adalah yang terbaik.

Paradoks Pelafalan

Pelafalan merupakan salah satu aspek yang paling sulit dipelajari bagi pemula yang belajar bahasa asing. Mereka rentan terhadap bentuk kesalahan tertentu tergantung bahasa ibu maisng-masing. Misalnya, orang Jerman akan kesulitan dalam mengucapkan “th”. Sebaliknya, penutur asli bahasa Inggris cenderung mengalami kesulitan dengan bahasa Jerman ‘ü’, yang cenderung mereka ucapkan sebagai ‘u’. Banyak orang menertawakan kesalahan dalam pelafalan itu, meskipun mereka juga melakukan kesalahan yang sama. Tetapi inilah paradoks: reaksi itu menunjukkan bahwa sebenarnya para penjelajah bahasa asing mengehatui itu adalah sebuah kesalahan ketika dilakukan orang lain. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli bahasa, Eva Reinisch dan Nikola Eger dari LMU yang berkolaborasi dengan Holger Mitterer dari University of Malta, kini telah menemukan satu alasan dari paradoks ini. Reinish mengatakan bahwa pelajar bahasa asing cenderung untuk melebih-lebihkan kualitas pelafalan mereka sendiri. Polanya adalah mereka mempercayai bahwa pelafalan mereka lebih baik dibanding sesama pelajar lainnya, meskipun mereka terus mengulang kesalahan yang sama. Penilaian berlebihan atas kemampuan sendiri inilah faktor penting yang mengakibatkan mengapa sangat sulit untuk mempelajari pelafalan bahasa asing.

Dalam penelitian itu, peneliti meminta 24 pelajar bahasa Inggris dari Jerman untuk membacakan 60 kalimat pendek, seperti “The family bought a house” , “The jug is on the shelf”, dan “They heard a funny noise”. Beberapa minggu kemudian pelajar yang sama diundang kembali untuk mendengarkan rekaman empat pelajar dimana tiga pelajar lainnya dan rekaman diri mereka sendiri. Secara khusus, mereka diminta untuk menilai pelafalan setiap kalimatnya. Tetapi rekaman itu telah dimanipulasi agar mereka tidak mengenali suara mereka sendiri. “Manipulasi itu menjadi sangat penting agar tidak ada pendengar yang menyadari suaranya sendiri agar penilaian dalam sample uji menjadi akurat” tutur Holger Mitterer. Hasilnya pun sangat jelas membuktikan bahwa dalam semua kasus, pendengar menilai pelafalan mereka sendirilah yang lebih baik daripada lainnya, meskipun mereka tidak mengenali suara mereka sendiri.

Ada beberapa kemungkinan untuk menjelaskan penemuan itu. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aksen akrab lebih mudah dipahami dibanding aksen yang baru didengar. Reinish menambahkan bahwa “Seseorang sangat mengenali suara ya suaranya sendiri dan tidak akan merasa kesulitan dalam memahaminya”, itu mengapa keakraban akan suara itu mengakibatkan kita menganggap pelafalan diri kita yang lebih baik.

Yang perlu digaris bawahi dari hasil penelitian ini adalah pentingnya umpan balik eksternal pada kursus bahasa, karena hal itu meningkatkan kesadaran pembelajar akan kurangnya produksi dan pemahaman bahasa. “Selama kita meyakini bahwa kita sudah cukup baik, maka kita tidak akan berupaya lebih untuk meningkatkannya”, penjelasan Reinish. Kurangnya umpan balik meningkatkan resiko yang disebut “fossilization” oleh para peneliti. Pelajar merasa bahwa telah menguasai pola artikulasi asing dalam bahasa baru, meskipun sebenarnya tidak demikian. Karena itu mereka tidak memiliki alasan mengapa mereka harus meluangkan lebih banyak waktu untuk meningkatkan pelafalan mereka.

Baca artikel menarik lainnya disini !

Salam baca Brainy !

Disadur dari : https://www.sciencedaily.com/releases/2020/02/200207141658.htm

WhatsApp Order, Hub Kami 081359358604 (24 Hour)