081-359-358-604 [email protected]

Tidak semua makna tergambar secara eksplisit, terkadang kita memerlukan waktu lebih untuk memahami sebuah klausa atau kalimat. Seorang pembicara atau pun penulis seringkali menambahkan majas untuk menimbulkan makna figuratif. Kesan kiasan tersebut, terkadang untuk menyamarkan makna atau bahkan membantu memperjelas makna dengan cara membandingkan dengan kondisi nyata, metafora contohnya. Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani—“meta” (diatas) dan “pherein” (mengalihkan/memindahkan). Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain. Bandingkan dua contoh berikut :

“Dunia adalah panggung sandiwara”

“Politik yang bersih”

Dua contoh di atas menggambarkan bagaimana metafora sebagai sarana linguistik. Menurut Aristoteles, cendikiawan pertama yang serius menggeluti metafora, metafora adalah bahasa figuratif yang digunakan untuk memperluas makna sebuah konsep yang masih asing dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep yang masih asing. Definisi ini dirumuskan: “A adalah B dalam konteks X, Y, Z. “Dunia” adalah konsep yang belum dipahami sepenuhnya (berbentuk abstrak) dirumuskan elemen A dan dibandingkan dengan pandangan yang lebih luas yakni elemen B “panggung” yang sudah konkrit dan sudah dipahami. Hal itu memindahkan perbandingan makna “panggung”, tempat aktor dan aktris bersandiwara (dalam konteks X,Y,Z) ke dalam makna “dunia”. Uraian ini menunjukkan bahwa metafora dibentuk atas perbandingan dua konsep yang tidak sejenis. “Tono adalah Tomi” bukanlah sebuah metafora, karena keduanya smaa-sama adalah manusia. Berbeda hal, ketika Anda menyebut “Tono adalah singa”. Frasa tersebut dapat digolongkan sebuah metafora karena membandingkan dua konsep yang berbeda. Yang lebih rumit untuk memahami konsep metafora adalah ketika maknanya tidak tersampaikan secara eksplisit, melainkan implisit. Anda bisa bagikan contoh metafora bermakna implisit di kolom komentar.

Lalu bagaimana dengan politik yang bersih? Frasa itu merupakan penggambaran konsep norma atau moralitas yang berlaku dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai norma atau pun moralitas merupakan konsep yang abstrak. Lalu, bagaimana cara kita memandang konsep itu secara metafora? Memandang secara metafora maksudnya adalah memandang sesuatu yang abstrak dengan menggunakan, menyamakan atau mengasosiasikan dengan sesuatu yang lebih konkrit atau mudah dipahami. Segala hal yang diterima atau berlandaskan norma dalam bermasyarakat, seringkali kita padankan dengan segala hal yang bersih dan indah. Sebaliknya, sebuah konsep yang tidak dapat diterima atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku, kita sering memadankan dengan sesuatu yang kotor atau buruk. Sama halnya dengan hitam atau putih. Seringkali semua yang baik akan mudah diterima dengan penggambaran warna putih, layaknya malaikat atau mungkin seorang peri. Berbeda dengan hal yang tidak baik atau kurang diterima akan digambarkan dengan aura gelap bahkan hitam.

Lakoff (1996) lebih menegaskan bahwa manusia lebih mudah untuk memandang sesuatu yang baik dengan warna putih, dan absennya moralitas atau sesuatu yang buruk dengan warna ‘hitam’. Lebih dalam lagi, sikap tengah-tengah antara baik dan buruk dipandang dengan warna abu-abu. 

Bahasa akan terus berkembang karena tumbuh seiring pemikiran manusia dan pergeseran budaya. Para ahli bahasa atau linguis menanggapi perkembangan bahasa itu dengan sangat baik. Dan hal itu juga seharusnya juga belaku bagi kita sebagai pengguna aktif bahasa.

Baca artikel menarik lainnya disini !

Salam baca Brainy !

WhatsApp Order, Hub Kami 081359358604 (24 Hour)