Diskusi tentang bahasa gado-gado mungkin baru untuk sebagian orang, tapi pada kenyataannya, bahasa gado-gado sudah mulai mengakar ke masyarakat sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Percakapan menggunakan percampuran bahasa (bahasa gado-gado) ini, sudah banyak ditemukan dalam novel atau film-film di tahun 2004-2011.
Bahasa gado-gado merupakan stigma yang mengarah pada ketercampuran bahasa Indonesia dengan bahasa lainnya, terutama bahasa Inggris. Percampuran bahasa dalam konteks ini, sejatinya sangatlah luas termasuk percampuran bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, namun yang paling banyak disorot oleh masyarakat adalah keberadaan bahasa Inggris dalam bahasa gado-gado.
Kebanyakan orang Indonesia yang menggunakan ragam bahasa ini adalah mereka yang menggunakan struktur bahasa Indonesia dengan menyelipkan kata-kata bahasa Inggris dalam kalimat atau antar kalimat. Seperti contohnya, kata ‘on the way’ yang lebih sering digunakan dibanding pemilihan kata ‘dalam perjalanan’, penggunaan kata launching, at least, which is, literally, prefer, dan kosa kata bahasa Inggris lainnya yang sering dicampuradukkan. Dalam beberapa kasus, fenomena ini dapat bersifat diskursif dan memudarkan jati diri Indonesia. Atau kurangnya kepercayaan diri warga Indonesia menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dengan baik dan benar. Tapi apakah fenomena penggunaan bahasa gado-gado tersebut seluruhnya merupakan bentuk keserampangan atau penyimpangan bahasa?
Kecaman masyarakat yang sering muncul seperti sebutan “kebarat-baratan atau keinggris-inggrisan” atau yang juga dikaitkan dengan kontekstual politik identitas yang menghubungkan rasa kebangsaan dan ragam bahasa yang dipilih, muncul karena dipacu oleh gagasan masyarakat Indonesia yang masih menganggap keberadaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Tuduhan itu juga membenturkan penggunaan bahasa dengan identitas penutur sebagai orang Indonesia.
Sejatinya, jika penggunaan bahasa gado-gado diikuti dengan perpaduan yang baik secara tata bahasa, ternyata dapat memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi mengenai hal-hal yang tabu dan di luar norma social budaya yang dominan di Indonesia. Kita juga dapat melihat agnesi kemandirian pembicara untuk menampilkan siapa dirinya kepada dunia. Kita dapat membicarakan hal-hal diluar keindonesiaan secara lebih positif dan terbuka. Pernyataan ini juga diperkuat dengan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran. Terkadang, penggunaan kata bahasa Inggris juga menyelipkan pesan tersirat atau makna yang ingin ditegaskan oleh pembicara.
Bagaimanapun adanya, kembali kepada tujuan berbahasa. Berkomunikasi menggunakan bahasa tertentu harus kembali pada tujuan berterima atau dapat dipahami oleh pembicara dan pendengar. Bagaimana yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik tanpa menimbulkan makna ganda atau salah tafsir. Bahasa yang kita pilih seharusnya tidak mempengaruhi rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme. Perlu disadari bersama, hendaknya kita dapat menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang patut dicintai dan dibanggakan, sementara bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dilestarikan, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang perlu dikuasai. Disadari atau tidak, globalisasi menuntut kita untuk mengenal dunia, dan jangan jadikan bahasa sebagai hambatan Anda. Kebutuhan akan kemajuan ekonomi, teknologi, kesehatan, maupun ilmu pengetahuan harus menjadi poros utama mempelajari bahasa asing. Dan kita dapat menempatkan bahasa Indonesia tetap sebagai bahasa jati diri bangsa Indonesia yang harus terus kita jaga dan banggakan.
Terlepas dari positif dan negative pengaruh bahasa gado-gado, ketahuilah kenali bahasa maka Anda akan mengenal dunia.
Baca artikel menarik lainnya disini.
Salam Brainy!