Bukan hanya demam Korea yang merebah dunia, salah satu daerah kecil di Indonesia juga pernah menjadi pusat perhatian dunia tahun 2009 silam. Salah satu suku di kota Baubau Sulawesi Tenggara menggunakan aksara Hangeul atau aksara milik Korea ini sebagai abjad resmi untuk suku setempat, suku Cia-cia. Bagaimana bisa suku di Indonesia menggunakan aksara Hangeul? Bukankah bahasa Indonesia menggunakan aksara latin? Bagaimana sejarahnya? Semua akan Anda temukan jawabannya disini.
Sejarah Aksara Hangeul digunakan oleh Suku Cia-Cia
Diketahui, suku Cia-cia menggunakan bahasa Cia-cia atau yang juga dikenal sebagai bahasa Buton Selatan. Bahasa Cia-cia yang digunakan oleh sekitar 93.000 penutur ini adalah bahasa tutur yang belum memiliki pedoman utuh untuk budaya tulis. Satu-satunya budaya tulis masyarakat Cia-cia ditemukan dalam kutika, yakni semacam coretan-coretan yang ditorehkan pada sepotong papan kayu atau kertas yang mirip dengan simbol. Kutika pada umumnya dimiliki oleh orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Meski bahasa Cia-cia merupakan bahasa resmi suku Cia-cia, namun hanya kalangan orang tua yang menggunakan bahasa tersebut, selebihnya (kalangan anak muda) lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Wolio yang merupakan bahasa mayoritas di Pulau Buton ini. Fenomena inilah dikhawatirkan dapat perlahan-lahan menggeser keberadaan bahasa Cia-cia dan terancam punah.
Dilatar belakangi oleh pernyataan Jusuf Kalla, yang menyebutkan bahwa beberapa bahasa daerah di Indonesia terancam punah, Wali Kota Baubau pada masa itu, MZ. Amirul Tamin, mengkhawatirkan keberadaan bahasa minoritas suku Cia-cia tersebut. Kepunahan suatu bahsa minoritas salah satunya disebabkan karena penutur bahasa minoritas yang tidak memiliki sistem penulisan yang bisa mengabadikan pelafalan bahasa mereka sendiri. Sempat mengadopsi aksara Arab, seperti yang digunakan dalam bahasa Wolio, sayangnya tidak semua bunyi konsonan bahasa Cia-cia dapat dituliskan menggunakan aksara Arab. Hingga pada tahun 2005, pemerintah bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), menggelar “Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara” di Baubau. Acara tersebut dihadiri oleh guru besar asal Korea, Prof. Chun Thay Hyun yang akhirnya menyeretnya untuk meneliti lebih jauh keterkaitan bahasa Cia-cia dengan huruf Korea. Kemudian, Hunminjengoum Research Institute hadir di Baubau atas saran Prof. Chun Thay Hyun untuk melihat langsung keadaan suku Cia-cia. Dari proses yang panjang dan penelitian yang menyeluruh, pada tahun 2009 Hangeul ditetapkan sebagai huruf resmi suku Cia-cia namun tetap menggunakan pelafalan bahasa Cia-cia. Keputusan besar ini menyelamatkan bahasa yang sejenis bahasa Austrronesia tersebut dari ujung kepunahan. Kini, huruf Hangeul telah dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal dari tingkat SD, SMP, hingga SMA.
Memahami kosakata dasar bahasa Cia-cia menggunakan aksara Korea
Uniknya, masyarakat suku Cia-cia yang hidup di Indonesia, tumbuh dan berkembang dengan kebudayan Indonesia, namun juga berdampingan dengan keunikan huruf Hangeul Korea. Dilansir dari Wikipedia, berikut kosakata dasar dalam bahasa Cia-cia yang juga telah dilengkapi dengan aksara Hangeulnya;
Angka 1-10
Kata kerja :
- 부리 buri ‘menulis’
- 뽀가우 pogau ‘berbicara’
- 바짜안 baca’an ‘membaca.
Ungkapan :
- 따리마 까시 Tarima kasi ‘Terima kasih’
- 인다우 미아노 찌아찌아 Indau miano Cia-Cia ‘Saya orang Cia-Cia’
- 인다우 뻬엘루 이소오 Indau pe’elu iso’o ‘Saya cinta kamu’
- 모아뿌 이사우 Moapu isau ‘Maafkan saya’
- 움베 Umbe ‘Ya’
- 찌아 Cia ‘Tidak’
Lebih dari itu, proyek besar yang sedang dicanangkan dan dalam proses penyelesaian dilakukan oleh Badan Pengembangan Asia untuk membuat kamus bahasa untuk suku Cia-cia yang akan diterbitkan untuk pertama kalinya. Kamus tersebut dalam tiga terjemahan, yang dituliskan dalam huruf Hangeul Korea, pelafalan bahasa Cia-cia dengan terjemahan Indonesia-Inggris. Ini tentu akan berdampak besar terhadap keutuhan bahasa Cia-cia hingga di masa yang akan datang.
Tidak dapat disangkal, keputusan besar yang diambil oleh pemerintah saat itu mengalami pro dan kontra di masyarakat secara luas. Namun, lepas dari hal itu, dengan ditetapkan huruf Hangeul sebagai huruf resmi bahasa Cia-cia, anak-anak kecil lebih mudah memahami dan mempelajari bahasa mereka sendiri. Itu juga membuka kesempatan besar kerja sama antara Pulau Buton dengan Korea, baik di bidang Pendidikan pun bisnis. Tidak hanya Korea, beberapa negara besar dunia pun, Jepang, Cina, dan Amerika Serikat datang langsung ke Baubau untuk melihat keistimewaan yang terjadi di suku pedaman asli Indonesia ini.
Seperti yang kita ketahui, menyelamatkan satu bahasa daerah minoritas juga dapat menyelamatkan kehidupan dan kebudayaan daerah setempat. Bukankah ragam bahasa telah mewarnai Nusantara? Untuk itu, penting bagi kita saling menjaga dan melestarikan kekayaan budaya Indonesia pun melalui keberagaman bahasa.
Baca artikel menarik lainnya disini.
Salam baca Brainy!