Fenomena besar yang terjadi di dunia salah satunya adalah masalah keberagaman bahasa. Ketika mengunjungi satu negara ke negara lainnya, bahasa menjadi satu sorotan utama. Tidak perlu sedemikian, bahasa yang digunakan dalam satu negara pun dapat bermacam-macam. Misalnya, ragam bahasa Nusantara yang dilansir memiliki kurang lebih 718 bahasa daerah. Dan para ahli bahasa meyakini bahwa mungkin ada sekitar 7.000 bahasa berbeda di seluruh dunia.
Bahasa-bahasa tersebut tidak tersebar secara beragam di seluruh dunia. Misalnya, jauh lebih banyak bahasa yang ditemukan di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang. Pulau tropis New Guinea adalah rumah bagi lebih dari 900 bahasa. Sementara Rusia dengan jumlah penduduk 20 kali lebih besar, memiliki 105 bahasa asli. Bahkan di daerah tropis, keragaman bahasa sangat bervariasi. Ambil contoh, 250.000 orang yang tinggal di 80 pulau di Vanuatu berbicara dalam 110 bahasa yang berbeda, tetapi di Bangladesh dengan populasi yang 600 kali lebih besar hanya berbicara 41 bahasa. Atau fakta bahasa yang digunakan di Eropa hanya sekitar 230 bahasa, sedangkan lebih dari 2.000 bahasa digunakan di seluruh Asia.
Salah satu daerah yang cukup ekstrim terkait keanekaragaman bahasanya adalah Papua-Nugini dengan 832 bahasa yang berbeda diantara populasinya yang berjumlah sekitar 4 juta orang.
Lantas mengapa manusia berbicara begitu banyak bahasa? Dan mengapa bahasa tersebar secara tidak merata di dunia? Ada banyak penelitian mencoba menjelaskan hal ini, apa yang didapatkan tentu tidak sepenuhnya menjelaskan mengenai proses manusia bisa berbicara dalam banyak bahasa.
Dua pemikiran yang paling banyak dibahas jika dikaitkan dengan ini adalah monogenesis dan poligenesis. Pertama, monogenesis menyebutkan bahwa semua bahasa berevolusi dari bahasa leluhur tunggal, misalnya dalam teori “Out of Africa” yang menyatakan bahwa penyebaran manusia awal dari Afrika dan kemudian berimigrasi terpisah-pisah keluar Afrika. Kedua, poligenesis yang menyebutkan bahwa berbagai bahasa leluhur berkembang secara mandiri. Dari sini didapatkan garis merah bahwa adanya banyak bahasa di dunia ternyata berkaitan dengan jarak dan waktu. Seiring waktu, kelompok orang akan bertemu dan bergabung. Di lain waktu, satu kelompok menaklukkan kelompok lainnya. Selama amsa demikian terjadilah perubahan besar terhadap bahasa dimana bahasa bertumbuh atau bahkan berubah sama sekali ke bahasa baru.
Dikutip dari artikel The Conversation juga pernah dilakukan sebuah penelitian oleh seorang linguistik dari Ayle University, Calire Bowern di Australia yang memiliki banyak bahasa di utara dan sepanjang pantai mereka. Dilakukan tiga langkah dalam penelitian tersebut, pertama membangun model sederhana untuk menguji sejauh mana proses dasar yang menjelaskan keragaman bahasa di Australia. Kedua, curah hujan yang ada juga akan membatasi jumlah orang yang tinggal di tempat tersebut. Ketiga, bahwa populasi manusia memiliki jumlah yang maksimal.
Langkah tersebut pun coba diaplikasikan ke daerah lainnya. Ternyata ditemukan bahwa tidak hanya kepadatan dan kondisi lingkungan yang bisa memengaruhi bahasa. Penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa juga bisa berubah dengan adanya struktur populasi dan bahasa yang digunakan di area wilayah yang besar. Peperangan, faktor geografis, dan adaptasi akustik juga merupakan alasan mengapa manusia berbicara dalam banyak bahasa. Namun, faktor sosial dan lingkungan menjadi salah satu faktor global yang membuat semua itu terjadi.
Dari bagaimana dan apa yang telah terjadi, bahasa disebarkan secara kultural yang artinya dipelajari. Bahasa dan variasi dalam bahasa memainkan peran besar dalam persatuan suatu kelompok masyarakat. Ahli bahasa Amerika Bernard Bloch dan George L. Trager mendefinisikan bahasa dengan; “Bahasa adalah sistem simbol vokal yang berubah-ubah yang dengannya suatu kelompok sosial bekerja sama.” Terlepas dari itu, bahasa akan menjadi topik yang menarik untuk dibahas sepanjang waktu karena bahasa bergerak, dinamis, berubah mengikuti pola manusia.
Baca artikel menarik lainnya disini.
Salam baca, Brainy!